Minggu, 07 Desember 2014

We Could Be Happy [Cerpen]





Kupandang seorang gadis kecil yang memakai topi boater dengan pita berwarna ungu yang melingkar, baju terusan dibawah lutut berwarna putih dengan renda warna biru di bagian ujung kerah dan lengan, sepatu pentopel warna senada dengan baju terusannya memandang ke arah sebuah pulau kecil buatan di seberang danau dengan menaruh keduatangannya di atas pagar kayu yang basah karena hujan yang baru saja berhenti. Gadis kecil itu kuperkirakan berumur 11 tahun. Gadis kecil itu memegang seutas tali yang menghubungkannya dengan leher seekor Kucing Persia berwarna putih yang duduk terdiam di samping gadis kecil yang setelah kuketahui bernama Aria oleh seorang barista di sebuah kedai kopi yang aku singgahi bersama seorang lelaki yang seusia denganku.Kupandang lelaki tersebut sejenak.Ia sedang melihat buku menu yang disediakan untuk memesan secangkir kopi.
“Pesan secangkir caffe macchiato tapi foamnya sedikit aja”, kata Daniel kepada seorang barista
“Saya pesan esspreso dari wamena”, kataku kepada barista
“Masih suka wamena ?”, tanya Daniel
Tak kujawab pertanyaannya.Pertanyaan yang menurutku tak perlu kujawab karena iapun mengetahui jawabannya. Alunan lagu ‘You could be happy’-nya Snow Patrol mengudara melalui speaker yang dengan sekejap merubah atmosphere yang tadinya agak tegang menjadi lebih santai.
“Ingat lagu ini ?”, tanya Daniel yang hanya kubalas senyuman
Iapun ikut menyanyikan liriknya dengan suara yang tak begitu pas, “Is it too late to remind you, How we were…”
“Do the things that you always wanted to…”,sambungku dengan tawa bersamanya diakhir
“Aku ingat”, kataku setelah menghela napas
“Kau..”, kata Daniel yang terpotong karena seorang barista datang membawakan kopi pesanan kami
“Kau tahu alasan kita di sini ?”, tanya Daniel setelah barista itu meninggalkan kami
“Kau yang membawaku kesini, Dan”, jawabku sambil mengalihkan pandanganku terhadapnya
Dapat kulihat hujan mulai turun lagi.Aku sangat menyukai bau yang ditimbulkan oleh air ketika mengenai tanah, sangat berbau kampung halaman yang menyenangkan. Aku memandang ke luar jendela dan melihat Aria sedang menggendong kuncingnya dan berdiri berhadapan dengan seorang anak laki-laki yang –mungkin- seusianya. Dapat kulihat mereka beradu argumen tentang entah apa sambil tertawa disela, membuatku teringat akan masa kecilku dengan Daniel. Dulu kami sering bermain, tertawa, bercanda bersama tapi seiring tambahnya usia kami dan ditambah aku harus pindah ke luar kota, kami jadi jarang berkomunikasi hingga saat ini, aku masih merindukan suaranya saat ia membelaku walau ia tahu aku yang salah, rangkulan tangannya ketika kami berjalan, ucapannya yang begitu rumit tentang hal yang terlalu berbau cowok sehingga tak bisa kumengerti, tawanya ketika aku berbicara bahasa ‘planet’ yang tak kami mengerti. Aku rindu itu semua...
“Za !!”, teriak Daniel yang membangunkanku dari lamunan. Dia sudah tak di hadapanku lagi sekarang melainkan basah kuyup terkena hujan di luar sana.
Ia berkata ‘Ayo !!’ tanpa suara. Sial, dia tahu aku tak bisa menolak untuk bermain air apalagi air hujan. Tanpa pikir panjang, aku langsung bergabung dengannya di luar sana bersama Aria dan temannya. Sampai di depan pintu masuk kedai, aku kehilangan dirinya. Saat aku berbalik untuk kembali ke tempat kami, Daniel memanggil namaku dan menembakkan air dari pistol air yang dipegangnya yang sepertinya ia pinjam dari Aria.
Dingin langsung menusuk tubuhku, tapi aku memiliki daya tahan seperti eskimos jadi aku tak perlu khawatir. Aku langsung berbalik dan berniat untuk membalas serangannya tapi aku malah menumpahkan air mata yang tak bisa ku bendung lagi. Dulu kami sering bermain pistol air di halaman rumahnya bahkan pernah sekali kami bermain air di dapur dan membuatnya banjir seketika sehingga kami terpaksa menerima hukuman dari ibunya.
“Oh.. Maaf,”, kata Daniel panik. Ia langung mendekap tubuhku dengan erat. Aku dapat mencium bau tubuhnya yang telah tercampur parfum khasnya, serasa inginku bekukan waktu untuk selamanya pada momen ini.
“I miss the old us too..”, bisik Daniel. Aku tahu, dia tak mungkin mengira aku menangis karena serangan tiba-tibanya atau karena kedinginan atau karena yang lain.