Kupandangi komputerku dengan pikiran melayang sampai negeri antah berantah dan diiringi alunan musik jazz yang lembut dari Kenny G di dalam kamarku yang bagai kapal pecah dibungkus dengan gordyn biru laut berlukiskan angsa terbang yang bebas melayang. Sendiri. Sendiri di gubukku yang ibu panggil ‘rumah’ tapi gagasanku ini bukanlah rumah yang menjadi saksi bisu dari perjalanan hidupku melainkan hanya kasur keras padat untuk tidur bahkan hams, nama dari salah satu hamsterku yang masih bertahan melawan badai tidak betah tinggal. Dengan muka masam ia meninggalkanku sendiri di gubuk reyot ini setelah ia berkemas-kemas membawa semua salad yang aku berikan kepadanya satu hari yang lalu bahkan kulkasku bersih dari sayuran yang bernama wortel dan galon air mineralku. Aku langsung shock ketika kesiangan harinya menemukan secarik kertas di aquarium tempat bernaungnya yang berisi :
Bung,
I
minta maap, I harus go out from sini. I sudah no tahan lagi in sini.
Hate,
Hamster
mu yang unyu
P.S = stop
call I ‘hams’ !!
Sudah I bilang, hams sudah mati
!
Nama I is ‘munyu’ !!
Dengan menitikkan air raksa dari
termometer yang sudah bocor, aku membaca pesan itu. Padahal aku ingin
menjadikannya sebagai hewan percobaan untuk praktik pembedahan di sekolah esok
hari. Dengan perasaan yang campur aduk seperti nasi mawut segera kusambar
ponsel milik Itos, nyamuk yang biasa mengganggu hams pada malam hari untuk
hanya sekadar membuat muka hams menjadi masam semasam stoberi.
376+77=8
Setelah aku ketik nomor fax hams, aku
langsung bicara kepada hams lewat video call
“hams, aku minta maaf”
“munyu ! aku tidak mau kembali ke sana
untuk ke 7 kalinya !”
“ayolah hams, aku baru saja akan memberimu
teman yang cantik”
“munyu ! aku tetap tidak mau !”
“oh iya, aku lupa.. akan ada 2 hamster
ganteng lho nanti..”
“baiklah.. dan, berhenti memanggilku
hams !!”
“okay”
Dasar
hamster homo ! kataku dalam hati dan keesokan harinya
ia telah tidur di rumah masa depannya karena kegagalanku dalam menjalankan
praktik pembedahan tersebut.